Aku menatap langit yang menghitam dalam balutan mendung. Di sekelilingku puing dan reruntuhan bangunan
yang teronggok kaku tanpa mungkin ada renovasi. Itu karena di sini, tempat
dimana aku bersembunyi adalah tempat meledaknya bom nuklir pada perang dunia
ketiga dua ratus tahun yang lalu.
Tempat ini begitu
lengang dan teramat sepi untuk disebut sepi setelah pemerintah menetapkan
daerah dengan luas sekitar sepluh kilometer persegi sebagai zona berbahaya. Tidak
ada lagi sisa kejayaan yang bisa kalian lihat ditempat ini sekalipun dulunya tempat ini adalah tempat
berdirinya pusat peradaban di negara ini.
Saat ini peradaban dunia memasuki era baru. Perang dan
pemberontakan adalah hal yang bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Kemampuan
senjata mesin telah mencapai titik batasnya. Semua negara berlomba-lomba menciptakan
senjata baru dalam bentuk manusia modifikasi untuk menghadapi perang demi
perang yang pasti terjadi. Pada masa ini hanya hukum rimba yang berlaku. Penjajahan
adalah simbol kekuatan. Semakin luas wilayah jajahan suatu negara menandakan
negara itu semakin kuat.
Aku tahu dunia sudah gila. Tapi aku tidak menduga bahwa
dunia telah membusuk sedemikian parah. Rezim yang menang dalam perang dunia
ketiga memimpin dunia dengan diktator. Mereka memaksa hampir separuh negara di
dunia untuk melakukan riset gila. Termasuk negaraku, dan aku adalah
satu-satunya orang yang malang karena selamat dari eksperimen gila yang
melibatkan tiga ratus orang lebih sebagai bahan uji coba. Lebih buruk dari
semua kelinci percobaan yang pernah ada dalam catatan sejarah.
Tepatnya lima bulan yang lalu. Waktu itu seorang perwira
datang ke rumahku dengan kedok perekrutan militer. Aku mereka bawa, tentu saja
wajahku mencerminkan kebanggaan yang bertolak belakang dengan wajah putus asaku
saat ini.
Tidak ada yang mencurigakan, setidaknya setelah aku sampai
pada sebuah laboratorium raksasa. Ada ratusan orang disana, tapi wajah mereka
terlihat suram. Didepan mereka tergeletak puluhan raga tanpa nyawa. Sejurus kemudian
terdengar suara teriakan dari puluhan orang. Lalu beberapa menit kemudian puluhan
orang dilempar layaknya sampah. Menambah
tumpukan mayat di hadapan kami. Salah seorang mencoba melawan dan berakhir dengan
sebuah pukulan dari seorang penjaga yang membuatnya terlempar puluhan meter.
Penjaga itu lalu
menatap kami satu persatu. Tatapan yang membuatku demikian terintimidasi. Dia lebih
mirip dengan monster dari pada manusia normal. Tidak ada belas kasih atau
perasaan apapun yang terlihat dari sorot matanya. Lebih mirip dengan mata mayat
dari pada mata yang dimiliki orang yang masih hidup.
Seseorang disebelahku menceritakan sebuah fakta yang
membuatku mengutuk dunia ini. Kami semua berada pada keadaan yang sama, nasib
yang sama. Mereka merekrut rakyat jelata yang buta akan fakta bahwa saat ini
negara tengah menjalankan proyek manusia modifikasi. Mereka menciptakan semacam
formula untuk meningkatkan kemanpuan fisik seperti kekuatan, kecepatan, pendengaran,
penglihatan dan aspek kemampuan fisik lainnya.
Tentu saja hal itu sangat dekat dengan kegagalan sehingga
membutuhkan terlalu banyak subjek tes. Tubuh manusia normal akan mengalami
kesulitan beradaptasi dengan kekuatan yang secara spontan dimasukkan secara
paksa. Singkatnya mereka ingin menciptakan tentara super, dan kami menjadi
kelinci percobaan pada proyek tersebut.
Saat sedang sibuk memikirkan segala kemungkinan buruk yang
akan terjadi. Seorang petugas menyeretku kasar. Lalu tubuhku dihempaskan pada
tempat pembaringan. Kaki dan tangan, juga perutku diikat dengan sabuk pengikat.
Lalu sebuah jarum infus, yang entah berisi cairan apa disuntikkan ke lenganku. Diikuti
rasa sakit yang menjalar ke sekujur tubuhku. Pandanganku perlahan mulai gelap. Tubuhku
mati rasa. Lalu sayup-sayup terdengar mereka berbincang dengan nada pesimis.
“Dia adalah orang terakhir, tapi kecil kemungkinan dia akan
selamat dari tes pertama ini”
“Apa? Tes pertama mereka bilang” umpatku dalam hati.
“Prof. Ada kemungkinan dia akan bertahan. Jantungnya masih
bersetak setelah belasan menit”
“Tapi kemungkinan itu terlalu kecil”
Hanya itu yang bisa kuingat. Saat sadar aku tengah berada
pada tempat pembuangan. Hal itu terlihat dari demikian banyak mayat yang
dibiarkan membusuk di lorong ini. Aku berjalan menelusuri lorong berharap
menemukan jalan keluar. Sekitar satu jam berjalan aku melihat pendar cahaya. Lorong
ini berujung pada saluran air bawah tanah. Setelah melewati saluran air itu aku
sampai pada sebuah sungai. Ada harapan yang kurasakan, setidaknya untuk sekedar
bisa kembali pulang.
“Jangan bergerak!” bentak seorang petugas di belakangku
dengan menodongkan sebuah pistol.
Aku tidak peduli dengan ancamannya setelah semua yang
terjadi. Mungkin lebih baik aku mati dari pada membiarkan diriku tertangkap. Toh
aku akan kembali tersiksa dengan serangkaian tes uji coba mengingat aku masih
bisa bertahan hidup setelah menjalani tes pertama.
Saat itu jarak kami hanya hanya sekitar dua meter. Aku menyerangnya
karena putus asa dan hanyamengikuti insting bertarungku. Tapi aku benar-benar
terkejut. Mengingat kurang dari satu detik aku telah berhasil menyarangkan
pukulan telak di uluh hatinya. Kemudian petugas itu terlempar belasan meter.
Aku tidak percaya dengan apa yang barusan kulakukan. Apakah aku
kesurupan atau memang aku sekuat ini. Tapi tidak ada waktu untuk berfikir. Sekarang
yang perlu aku lakukan adalah melarikan diri sejauh mungkin dari komplek lab
gila ini.
Aku kembali tercengang karena tubuhku terasa benar-benar
ringan. Aku bisa memperkirakan kecepatan berlariku sekitar enam puluh kilo
meter perjam. Sehingga hanya perlu waktu kurang dari setengah menit untuk
sampai gerbang depan lab yang berjarak sekitar dua ratus meter dari tempatku
sebelumnya.
Lima orang penjaga gerbang menembakiku. Tapi anehnya aku
bisa melihat peluru-peluru itu melesat demikian lambat sehingga tidak ada
hambatan bagiku untuk menghindar. Beberapa detik kemudian mereka sudah aku
bereskan.
Tiba-tiba aku merasa nyeri pada lengan kananku. Saat aku
menoleh kebelakang puluhan petugas keamanan dengan senapan sinar laser tengah
membidik ke arahku. Tidak ada habisnya kalau aku melawan mereka. Sehingga kuputuskan
untuk melarikan diri.
Saat itu aku ingat akan tempat meledaknya bom nuklir pada
perang dunia ketiga. Sehingga aku memutuskan untuk bersembunyi ditempat itu. Sekitar
satu jam lebih aku berlari sampai akhirnya aku sampai di tempat yang disebut
kota mati. Kulihat lengan kananku, lukanya sudah sembuh entah sejak kapan. Aku beruntung
karena bisa selamat dari eksperimen gila itu. Tapi mulai detik ini kehidupan
normal tidak ada lagi di dalam kamusku. Aku yakin dalam waktu dekat pemerintah
akan menjadikanku buronan. Mengingat dari sekitar tiga ratus subjek percobaan
hanya aku yang selamat. Berarti cukup sulit untuk mendapatkan subjek sepertiku.
Selanjutnya mereka akan memaksaku, tidak. Lebih tepatnya mereka akan mengubahku
menjadi mesin seperti para penjaga di sana. Mereka akan menghapus ingatanku dan
menjadikanku tentara khusus.
Sudah sekitar seminggu sejak aku berhasil melarikan diri, belum
ada tanda-tanda pergerakan mereka. Aku berfikir mungkin ada kesepatan jika aku
ingin melakukan pemberontakan. Tapi nyaliku ciut. Aku hanyalah hasil eksperimen
yang belum sempurna. Besar kemungkinan ada begitu banyak orang dengan kemampuan
diluar nalar manusia disana. Kalau aku mau menghentikan mereka setidaknya aku
harus mencari orang-orang yang bernasib sama denganku. Walau bagaimanapun aku
menolak untuk membiarkan eksperimen kejam itu terus berlanjut.
0 komentar:
Posting Komentar